Kamis, 10 Desember 2015

Pamangku Buwono Mamayu Bawono



Oleh: ‪#‎EmhaAinunNadjib
Pada suatu hari nanti, kepanjangan idiom PNS bukan lagi Pegawai Negeri Sipil, melainkan Pegawai Negara Sipil. Lebih tepatnya Pegawai Sipil Negara (PSN). Kalau memakai tata bahasa Jawa: Pegawai Sipil-nya Negara.
Dan apabila bangsa kita sudah menjadi lebih dewasa, diperjelas menjadi Pegawai Sipil Rakyat (PSR). Atau lebih tajam tapi halus: Abdi Rakyat (AR). Kalau terang-terangan: Pelayan Rakyat (PR) atau Buruh Rakyat (BR).
Kenapa tidak lagi Pegawai Negeri Sipil? Karena kata ‘Negeri’ digunakan dalam budaya, bersifat cair, sastrawi dan romantik, jenis rasa-katanya berada di ranah budaya yang lembut, untuk lagu, puisi atau retorika kultural. Sedangkan ‘Negara’ bersifat ‘padat’, definitif dan denotatif, sehingga jelas aplikasi, formula dan perwujudannya dalam urusan birokrasi dan administrasi.
Cobalah nyanyikan lagu wajib ‘Padamu Negeri’ dengan mengganti kata ‘Negeri’ dengan ‘Negara’ dan rasakan langsung atau perlahan-lahan.
Lingkup pemahaman atau identifikasi Pegawai(nya) Negeri hampir tak berpagar, tidak ada ‘galengan’nya, tidak menentu tata aturannya, sangat relatif regulasinya. Kosakata ‘Negeri’ tidak bisa menjadi fondasi hukum dan tata kepegawaian. ‘Negeri’ bukan bahasa hukum. Ia bahasa budaya, bahasa estetika.
Tetapi kalau Pegawai Negara, langsung menjelaskan bahwa pegawai mengabdi kepada Negara dengan Undang-undangnya yang padat. Pegawai bukan mengabdi dan patuh kepada Kepala Kantornya, kepada Lurah, Camat, Bupati, Gubernur, Menteri atau Presiden. Semua ‘padatan’ dari Lurah hingga Presiden itu beserta semua Pegawai Negara, bersama-sama mengabdi kepada Undang-undang Negara, sebagai salah satu perwujudan pengabdian mereka kepada Rakyat.
Dengan prinsip itu maka Presiden hingga Lurah bukan ‘atasan’nya Pegawai Negara, karena mereka berposisi sama di depan Undang-undang dan Hukum. Bahwa ada pembagian kewajiban dan hak yang tidak sama, ada tatanan hirarchi kewenangan yang berbeda, itu pada hakekatnya tidak berstruktur vertikal, melainkan merupakan putaran dinamis “division of labour”.
Rakyat membangun ‘Rumah’ yang bernama Negara beserta tata aturannya (konstitusi, hukum dan tata-kelola atau birokrasi). Di dalam rumah itu PNS, PSN, PSR, AR, PR atau BR adalah sekumpulan buruh(nya) rakyat yang digaji, disediakan fasilitas-fasilitas dan dijamin hidupnya hingga meninggal dunia sebatas kemampuan rakyat. Para petugas atau buruh yang digaji rakyat itu sementara ini menyebut dirinya Pemerintah.
Gedung-gedung perkantoran, misalnya, yang digunakan untuk bekerja oleh Camat, rumah dinas Bupati, mobil dinas Gubernur, fasilitas-fasilitas Presiden dan Menteri dan semua perangkat yang dipakai oleh Pemerintah, bukanlah milik Pemerintah, melainkan merupakan bagian dari fasilitas Negara yang seluruhnya dimiliki oleh rakyat.
Pada suatu hari bangsa kita akan mulai memahami pilah-pilah antara Rakyat, Negara dan Pemerintah. Sampai hari ini kita masih belum benar-benar beradab, karena membiarkan posisi rancu antara Negara dengan Pemerintah. Defacto kepegawaian bangsa ini adalah “Pegawai Sipil Pemerintah”, sehingga konsentrasi ketaatan mereka adalah kepada ‘atasan’ dalam struktur kepemerintahan. Bukan ketaatan kepada Undang-undang Negara, apalagi pengabdian kepada Juragan Agung yang bernama Rakyat.
Nanti akan ada hari di mana mereka bertransformasi menjadi Pegawai Sipil Negara, yang prinsip kewajibannya adalah menjalani pelayanan atau pengabdian kepada Rakyat. Transformasi kesadaran juga akan berlangsung pada pemahaman untuk membedakan antara Pejabat Negara dan Pejabat Pemerintah, antara Lembaga Negara dengan Lembaga Pemerintah, asset Negara dan asset Pemerintah, bahkan Kas Negara dengan Kas Pemerintah. Umpamanya Badan Usaha Milik Negara tidak menyetorkan penghasilannya kepada Kas Lembaga Negara, bukan kepada Kementerian Keuangan di jajaran Pemerintah.
Sederhananya bangsa ini akan menyadari beda antara Keluarga dengan Rumahtangga, antara Kepala Keluarga dengan Kepala Rumahtangga, termasuk antara Almari Kas Negara dengan Laci Kas Rumahtangga, juga antara Bendahara dengan Kasir.
Minimal bangsa ini nanti akan belajar kepada Tri Bhuwana Tungga Dewi pemikir dan pengarif kebesaran Majapahit, kepada Hayam Wuruk dan Gadjah Mada, dalam hal tata kelola kesejahteraan Rakyat juragan mereka.
Pilihan kata ‘Pemerintah’ itu sendiri durhaka dan potensi dosa horisontal-vertikalnya sangat besar. Mereka suatu kelompok dari hamparan Rakyat yang dipilih untuk menjadi pelayan, yang digaji, difasilitasi dan dijamin hidupnya. Tidak ada jenis logika apapun di dunia dan akherat yang bisa menerima dan melegalisir bahwa mereka berhak memerintah. Masyarakat warung kopipun tahu bahwa yang memerintah adalah yang menggaji, dan yang diperintah adalah yang digaji.
Bangsa ini masih terbalik-balik tata letak saraf-saraf di otaknya. Rakyat mengangkat orang yang dibayar paling mahal dan diumumkan sebagai RI-1, bahkan dikhayalkan sebagai ‘orang besar’, dikerumuni dengan membungkuk-bungkuk, ditahayulkan sebagai ‘Satria Piningit’ dan diharapkan sebagai ‘Ratu Adil’. Padahal dia adalah TKI-1.
Orang besar ditanggungjawabi bayarannya oleh Allah karena totalitas iman dan pengabdiannya. Satria Piningit disutradarai oleh Tuhan ada tidaknya, hadir tidaknya, serta kapan waktunya. Ratu Adil adalah setiap manusia yang memfokuskan hidupnya melakoni apa saja di jalur Keadilan.
Dulu VOC membikin lembaga ‘Pangreh Praja’ dan ‘Pamong Praja’. Yang pertama ditugasi mengurus segala hal di rumahtangga Kraton. Yang kedua diperintah untuk mengurusi segala hal yang menyangkut kehidupan ‘Kawula’ atau (sampai semodern ini tidak ada kata yang mendekati kebenaran prinsipilnya kecuali) ‘Rakyat’.
Bangsa ini dihina dan menghina dirinya sendiri dengan menerima sebutan ‘Rakyat’. Rakyat adalah kumpulan manusia yang memegang atau memiliki kedaulatan dan menyepakati suatu sistem dan lembaga kepemimpinan (ra’iyat = kepemimpinan). Bangsa kita mau disebut dan rela menyebut dirinya Rakyat padahal mereka tidak berkedaulatan dan hampir selalu ditipu-daya atau minimal disogok untuk soal-soal kepemimpinan.
Masyarakat (syarika, syirkah) adalah sekumpulan manusia yang memiliki tradisi dan mekanisme untuk berserikat, sehingga memiliki landasan untuk menerapkan pola kepemimpinan. Ummat (umm = Ibu) adalah manusia-manusia yang berhimpun atas dasar seper-Ibu-an nilai. Bangsa Indonesia dilecehkan dan melecehkan dirinya dengan disebut dan menyebut dirinya dengan kata yang bertentangan dengan fakta kehidupan mereka.
Kata ‘Bangsa’ juga sudah kita bakukan sehingga taka da kemungkinan kata lain untuk menggunakannya. Karena secara internasional pemaknaan kata ‘Bangsa’ maupun ‘Negara’ selalu diombang-ambingkan oleh terutama kepentingan kapitalisme dan egosentrisme kelompok-kelompok besar yang berkuasa dalam skala global. Bertanyalah kepada anak-anakmu yang kuliah di Universitas apa definisi pasti tentang Negara dan Bangsa. Konfirmasikan kepada mereka apakah masih berlaku pengertian ‘Negara Bangsa’, bagaimana perubahan atau pembalikan pemahaman tentang Bangsa dan Negara? Atau apakah ‘Negara’mu ini defacto benar-benar Negara sebagaimana yang diajarkan oleh Dosen-dosen mereka?
Kita rela ditipu-daya untuk mengkerdilkan diri sendiri dengan meyakini bahwa Jawa adalah Suku, sebagaimana Bugis, Batak, Minang dll, kemudian kita dibodohi bahwa ‘Suku-suku’ itu terkumpul menjadi Bangsa Indonesia. Padahal kita adalah Kumpulan Bangsa-Bangsa, United Nations of Nusantara, dengan segala macam persyaratan terpenuhi untuk itu.
Di tengah posisi colonialized itu para pemuda malah bersumpah “Berbahasa satu, Bahasa Indonesia”. Dan sejak itu bahasa-bahasa Bangsa-bangsa seantero Nusantara yang sudah membangun Peradaban besar berabad-abad lamanya, kita yakini harus kita tinggalkan, kita sekunderkan, kita marginalkan. Padahal yang disebut Bahasa Indonesia adalah Bahasa Melayu Pasar yang dipakai oleh kaum pedagang regional di Batavia. Punyakah kaum cendekiawan metoda untuk mengukur sebagerapa besar defisit sejarah, kebudayaan dan peradaban yang kita tanggung?
Kita berpikir bahwa kita sedang mengembangkan keberadaban kita dengan mempersatukan bahasa. Kita diajari untuk menuduh bahwa, umpamanya, sistem bahasa Ngoko, Kromo Madyo dan Kromo Inggil adalah hirarkhi feodalisme. Padahal kekayaan Peradaban batin dan keberbudayaan yang tercermin oleh pijakan-pijakan “roso” yang melahirkan tiga dimensi bahasa komunikasi itu – dilunturkan dan dimusnahkan dari jiwa semua Bangsa-bangsa Nusantara, untuk membuat kita semua menjadi manusia sempit yang berdialektika hanya berdasarkan posisi Subyek-Obyek-Predikat.
Kita berpolitik, berdagang, bergaul, bahkan beragama dalam posisi pragmatis untuk secara naluriah selalu meletakkan diri kita sebagai Subyek, dan orang lain siapa saja sebagai Obyek atau Predikat yang kita peralat. Struktur dialektika sosial Subyek-Obyek-Predikat sangat membukakan pintu untuk eksploitasi, penindasan, pemanfaatan dan manipulasi.
Demikianlah cara kita bergaul sehari-hari. Demikianlah budaya politik kita. Demikianlah incaran-incaran kapitalisme kita. Bahkan demikianlah perilaku kita dalam menjalankan Agama. Karakter utama kita dewasa ini adalah mengobyekkan dan memperalat siapa saja dan apa saja, termasuk kekuasaan birokrasi, hak rakyat dan kekayaannya. Salah satu kata paling popular dalam kehidupan sehari-hari adalah “ngobyek”.
Bangsa-bangsa yang men-suku-kan dirinya ini juga tidak belajar apa gerangan yang dinamakan Negara, sehingga mereka meyakini dan mengikhlasi sesuatu yang bukan Negara sebagai (dianggap) Negara. Mereka juga mencurangi makna kata, memanipulasi arti, menyatakan diri sebagai bangsa yang merdeka, namun mereka meneruskan aspirasi penjajahnya dulu dalam berbagai hal yang menyangkut Tata Negara. Bahkan yang sudah dipalsukan itu dimelencengkan lagi: misalnya idiom Pamong Praja digunakan dengan bangga dalam penyempitan yang bernama Satuan Polisi Pamong Praja, yang tugasnya justru sangat ‘padat’ dan jauh dari kearifan kata ke-Pamong-an. Kekayaan makna batin, budaya dan keindahan “bebrayan’ yang dikandung oleh kata “Pamong”, kita aniaya menjadi palu kekuasaan, bahkan dengan watak kekerasan.
Alih-alih menumbuhkan kesadaran untuk coba-coba belajar apa gerangan ‘Pamong’ di dalam tradisi leluhur mereka sendiri, yang kemudian dimanipulir oleh kaum penjajah. Pamong, Pamomong, suatu prinsip pengabdian yang total dan bahkan ekstrem – meskipun para Pengabdi Rakyat atau Pegawai Negara Rakyat tidak dituntut untuk mengabdi sejauh itu.
‘Pamomong Bayi’ itu cakrawala pengabdian yang memacu kesadaran dan perasaan betapa tak terbatasnya keindahan mengabdi. Bagaikan Ibu yang momong bayi, yang ikhlas melakukan apa saja untuk bayinya. Tidak jijik kepada kotorannya, melindungi bayi lebih dari melindungi dirinya sendiri. Bahkan seorang Ibu Pamomong rela kehilangan apapun, hartanya, rumahnya, bahkan kedua bola matanya – asalkan tidak kehilangan bayinya.
Betapa pula jauhnya cakrawala prinsip tentang pengabdian itu dengan kenyataan ‘pengabdian’ para Pamong Praja Nusantara abad-21 atau dengan ‘cuaca mental’ para Pegawai Sipil Negara. Sedangkan dimensi kwantitatif Negara-Negeri Negara-Pemerintah saja masih terus batal dan najis secara ilmu kata dan makna. Apalagi dimensi kwalitatif makna-maknanya.
Padahal bangsa ini sudah 70 tahun berguru kepada Demokrasi: bahwa Rakyat adalah pemilik Tanah Air beserta isinya. Yang elementer dari ilmu Sekolah Dasar itupun masih belum lulus. Bahkan sebagian dari mereka sengaja merekayasa dan menciptakan suatu sistem kependidikan sosial, melalui berbagai macam perangkat dan institusi informasi, yang menghalangi jangan sampai bangsa ini lulus Ilmu Demokrasi.
Jangankan lagi meningkat ke smester berikutnya mempelajari Ilmu Demokrasi Semar, yang usia keilmuannya jauh lebih tua dan jauh lebih matang serta komplit disbanding Demokrasi Import yang mereka pelajari.
Demokrasi yang dipakai sekarang hanya menyangkut Subyek manusia, sementara Alam, Bumi dan kandungannya adalah Obyek atau Predikat alias Perangkat yang diperalat. Demokrasi Leluhur Bangsa-bangsa Nusantara memperlakukan Alam dan isinya sebagai partner pembangunan, sebagai Subyek dan sebagai sesama makhluk hidup, bahkan sebagai sahabat karib, sebagai kekasih yang disayangi.
Demokrasi Import meletakkan Presiden di titik paling puncak, dan rakyat di tataran paling bawah. Demokrasi Semar meletakkan Dewa yang berkwalitas tertinggi satu titik dan maqam dengan Rakyat. Demokrasi Improt gambarnya garis vertikal, Demokrasi Semar gambarnya garis siklikal atau bulatan. Demokrasi Leluhur dan Demokrasi Semar bersikap ilmiah, logis, memenuhi nalar akal, dan jernih jujur terhadap fakta kosmologis maupun teologis bahwa Kehidupan ini Bulatan.
Akan tetapi insyaAllah di masa depan yang dekat, para pelaku Demokrasi akan mulai mengenal Tuhan Yang Maha Tunggal (bukan Esa: sebab Esa atau Isa atau Isang atau Ika ada Dua atau Dwi atau Dalawang-nya da nada Tiga atau Tri atau Telu atau Tatlu-nya). Maka skala kesadarannya meluas dan meningkat: Tanah Air beserta isinya adalah milik Tuhan yang dipinjamkan sampai batas waktu yang Ia tentukan kepada makhluk-Nya, hamba-Nya, manusia-Nya, rakyat-Nya.
Tuhan yang membikin dan pemilik tunggal seluruh alam semesta beserta isi dan penghuninya, sehingga Ia berhak membatalkan ciptaan-Nya itu sekarang juga, berwenang mutlak untuk menyusun tradisi hukum ciptaan dan perilaku alam semesta, berwenang membuat gempa, gunung meletus, berwenang meluapkan air samudera, berhak membiarkan masyarakat manusia hancur, berhak tidak memperdulikan sebuah Negara runtuh, berhak menolong atau tidak menolong bangsa dari keruntuhannya, serta berhak membunuh semua binatang serta memusnahkan ummat manusia sebagian atau seluruhnya kapan saja Dia mau.
Alam semesta atau jagat raya disebut oleh peradaban, epistemologi dan filologi Jawa dengan ‘Bawono’, sedangkan makhluk hidup yang menghuninya dinamakan ‘Buwono’. Para Hamengkubawono, yang ditugasi mengelola Bawono adalah makhluk-makhluk ekstra-dimensi dari sudut pandang alam-kemanusiaan, para staf atau Malaikat yang berdimensi mengetahui manusia namun tak diketahui oleh manusia kecuali yang mengolah batin dan kelembutan jiwanya. Sementara Hamengkubuwono yang dimandati mengurusi Buwono, yakni isi dan penghuni alam semesta, khususnya bumi, disebut Khalifatullah, yang dalam hal ini dikhususkan untuk makhluk manusia.
Bahasa gampangnya: Hamengkubawono adalah Malaikat, yang berarti-harafiah rentang birokrasi Allah. Sedangkan Hamengkubuwono adalah Manusia, yang Allah menjulukinya sebagai Khalifah. Para Khalifah manusia dengan para Malaikat bekerja sama “mamayu hayuning bawono”.
Sedangkan para Pegawai Sipil Negara adalah Pangeran-pangeran Mangkubumi. Mereka diangkat dan difasilitasi oleh Rakyat untuk ‘memangku bumi’, mengelolanya menjadi kesejahteraan bagi para Majikannya serta dengan sendirinya bagi mereka sendiri. Di dalam ‘roso’ manusia Nusantara, Tanah Air disebut Ibu Pertiwi, bukan Bapak Pertowo. Pusat pengelolaan birokrasi penyejahteraan rakyat disebut Ibukota, bukan Bapakkota.
Tanah atau Bumi itu wanita. Manusia pengolahnya lelaki. Sawah itu wanita, petani lelaki yang mencangkuli dan menanaminya sehingga tumbuh ‘bayi’ kesejahteraan. Ibu Pertiwi adalah wanita, Pegawai Sipil Negara adalah lelaki ‘buruh tani’ yang mengolahnya. Simbolnya adalah Pangeran Lelaki yang me-mangku bumi. Peradaban dan kebudayaan Bangsa-bangsa Nusantara tidak mengizinkan lelaki memangku lelaki atau wanita memangku wanita.
Peristiwa memangku adalah peristiwa cinta dan kasih sayang. Yang memangku tidak menguasai yang dipangku. Yang dipangku tidak diperintah dan ditindas oleh yang memangku. Memangku adalah tindakan pengabdian, kesetiaan, kesabaran dan pengorbanan. Juga jangan lupa: kenikmatan.
Berlangsung dinamika pangku-memangku. Tanah Air memangku penghuninya. Di konteks lain Khalifatullah memangku Tanah Airnya. Rakyat menjunjung, memangku dan ‘ndulang’ atau memberi makan minum kepada Pegawai Sipil Negara. Pada dimensi lain Pegawai Sipil Negara memangku Rakyat yang menghidupinya. Pegawai Militer Negara menjaga ketenteraman pangku-memangku itu.
Kalau Pegawai Negara atau Abdi Rakyat tidak sanggup mengalami dan menemukan betapa nikmatnya pangku-memangku dengan Rakyat, apalagi kalau potensi kenikmatan itu hilang dari jiwa mereka karena ditutupi oleh ‘ideologi’ “ingin dapat duit lebih banyak dan lebih banyak dan lebih banyaaaaaak lagi” – tak ada gunanya ia meneruskan pekerjaan yang menyiksanya itu. Karena sudah pasti cara paling effektif untuk memperoleh uang sebanyak-banyaknya adalah merampok. Kalau sekedar berdagang, uang datang sangat lamban, bahkan mungkin bangkrut.
Akhirul-kalam, para Khalifah di Bumi Nusantara, banyak yang mengidap tiga penyakit gila: kekayaan, popularitas dan kebesaran. Mereka meletakkan tiga hal itu sebagai substansi primer hidup mereka, hingga dijadikan tujuan dalam melakukan pekerjaan apapun. Karena tiga penyakit gila itu dianggap ‘nilai pokok’ kehidupan, maka mereka memilih orang popular dijadikan pemimpin atau pejabat, dengan membuang prinsip dan parameter substansian kepemimpinan. Mereka melakukan pencitraan untuk memalsukan kekerdilannya menjadi seolah-olah kebesaran. Dan mereka mendaki kursi jabatan dengan bekal kekayaan, baik dari miliknya sendiri atau dari konsorsium sponsornya. Maka seluruh masyarakat tak bisa menginjak rem proses sejarahnya untuk terperosok menuju jurang Pralaya, Tahlukah atau Penghancuran.
Padahal hakekatnya tiga hal itu adalah bonus, hadiah, ‘pahala’, bahkan ‘resiko’. Mereka tidak mampu membedakan mana jalan mana tujuan, mana sebab mana akibat, mana isi mana bentuk, mana keris mana warangka.
Mereka menjalani hidup dengan salah niat. Beribadah tidak untuk Tuhan, tapi untuk memperoleh sorga. Padahal kalau mencari Tuhan, diperolehnyalah sorga.
Hidup adalah mematuhi skenario Tuhan, menyesuaikan diri dengan hukum alam, mematuhi Matematika yang suci (5 x 3 selalu = 15, dan tidak bisa berubah meskipun disogok seberapa milyar rupiahpun, serta tetap 15 meskipun Kaisar atau seratus batalyon tentara manapun memerintahkannya untuk menjadi 17 atau 13). Bekerja jujur, menegakkan akal sehat dan kecerdasan, menikmati kewajiban dan tangguh untuk tidak terlalu gatal terhadap Hak, membuat semua yang lain merasa aman dan nyaman, membangun kepercayaan – maka kemasyhuran, kebesaran dan kekayaan akan menjadi akibat otomatis dari itu semua. Bahkan barang siapa memfokuskan hidupnya untuk mengejar kekayaan, ia tidak akan pernah mengetahui apa sejatinya kekayaan. Bahkan nanti di usia pensiunnya ia mengerti telah ditipu oleh apa yang sepanjang hidup dikejar-kejarnya. ***

Rabu, 09 Desember 2015

Aku Seorang Gelandangan



Oleh : Emha Ainun Nadjib 1976

Hmmm...
Alangkah gandem rasa hidup
Nongkrong diatas tikar Malioboro malam hari
Pesan gudheg tempe, teh jahe, rokoknya, Dor!
Join sama kamu

Kaki methingkrang ongkang-ongkang rasane jaman kang soyo lintang pukang
Aku merasa akulah seorang gelandangan

Sebab aku seorang gelandangan
Maka akulah warga negara yang paling diistimewakan
Memang cuma sedikit saja aku kebagian nikmatnya kehidupan
Tapi aku bebas nangkring dimanapun dan tidur-tiduran
Sebab semua orang yang berumah pada menutup jendela dan pintu-pintu
Maka jiwaku langsung dibungkus oleh semesta
Namaku duluan dicatat oleh para Malaikat yang terbang mengendarai udara

Makin deras dan berbau busuk
Apa kabar pakdhe waringin?

Makin dingin dan tidak habis-habisnya aku dikutuk

Cuaca bangkit
Edaaaaaaan!
Lihat itu tulisan
Berpendar-pendar
Mata tidak tua bisa dengan jelas melihat huruf-huruf

Tulisan di spanduk berbunyi:
"Musabaqoh Tilawatil Quran antar mahasiswa" dan kemudian disebelahnya spanduk yang lain bertuliskan:
"Lomba Disco! Lomba Disco! Bergaya model Jhon Tralala........"

Aku membayangkan pinggul yang digoyang-goyang, lampu redup, buah-buah kuldi dihentak-hentakkan
Aku memandangi sel-sel gemetar, aku terbakar, aku memandang semangat dan nafsu yang berkibar-kibar

Come on my love
Come on my love
Come on my .....

Laa ilaaha illalah Muhammadarrasulullah
Laa haula walaa quwwata illaa billahil aliyul adziim

Sayup-sayup aku mendengar suara bayangan Tuhan dari tempat yang agak jauh
Bayangan suara Tuhan dan pinggul yang digoyang-goyang
Kenapa kamu gatal memandangnya sebagai wayang yang jejer berhadapan
Kata orang-orang inilah lanskap yang membingungkan

Ha ha ha...

Apa salahnya kitab suci dilombakan, karena kitab suci bagi kita hanya untuk dilomba-lombakan?

Dan apa salahnya pinggul digoyang-goyang kalau memang untuk jiwa kita yang menggelegak bagai lautan tidak ada lain yang bisa memberi tawaran

Wahai...
Wahai kamu bintang gemintang
Kamu telah ditipu oleh arah
Arah...
Arah...
Utara dan selatan hanyalah arah
Tetapi utara bisa menjadi selatan dan selatan bisa menjadi utara
Tergantung dimana engkau berada dan kemana engkau memandangnya
Jadi ayo...
Ayolah ini bayangan suara Tuhan, dan ini pinggul yang terus digoyang-goyang!

Lirih ditelingaku terdengar suara ibu, "Pak anak kita Betty kok belum juga datang ya pakne ya?"
Bapak menjawab: "Anak kita itukan bukan Betty to Bu, namanya kan Fatimah"
"Baiklah Fatimah, tetapi malam-malam begini kok belum juga datang?"
"Ya tentu belum, dia kan jadi panitia MTQ, tapi katanya sesudah itu langsung akan terus ke Colombo Disco"

Jabang bayi, jantan betina!
Inikah yang disebut gelagat jaman yang luwes
Warna yang samar atau pelajaran bagaiman memahami inti nilai yang lebih tersembunyi?

Hari-hari berputar
Kita terserimpung menjadi engsel dalam roda mesin yang lancap
Ketika makin jelas bahwa hidup adalah pentas barong yang tidak pernah bubar-bubar
Kita terhimpit beku dalam lingkaran setan

Karena itu berdoalah semoga Malaikat juga sempat bikin lingkaran-lingkaran
Ini Gereja...
Ini Masjid...
Ini Kuil...
Ini Diamond Nite Club...
Ini penari-penari bugil...
Ini peradaban-peradaban yang tinggi...
Ini kultur ultra modern...
Ini daging kehormatan. Dengan dua ribu perak.... silahkan pesan!

Tertawalah, tertawalah, tertawalah
Memang ini semua enak untuk dikunyah-kunyah dalam tawa
Hidup oleng!
Alam dipak dalam kaleng, hidup hilang jiwa,
Gedung-gedung dan lampu-lampu megah menegaskan sukma yang kosong dan fana

Marilah cintai dunia lebih dari segala-galanya!
Mari kita jual hidup kita untuk segumpal benda untuk sebiji status dan sekeranjang prestise
Kita bikin sendiri berhala-berhala kita, bergabung kita dengan komputer sekaligus dengan dupa-dupa
Kenapa tidak?

Kenapa tidak?

Hidup ialah perebutan, pertarungan, sejumput makanan, seporsi kenikmatan dalam usus.
Hidup adalah sebidang tanah, seperangkat gedung, satu drum gengsi sosial plus sejumlah ekstase-ekstase picisan

Jadi kenapa tidak?

Hidup adalah membangun bukit, meskipun peti mati jelas amatlah sempit
Hidup ialah mencungkil matahari
Hidup adalah merobek-langit, terlempar kita oleh kekuatan kita sendiri tanpa bisa kembali bangkit

Tapi aku hanya seorang gelandangan, aku tidak pernah dihitung kecuali sebagai seonggok kotoran.
Aku tidak dikehendaki kecuali lenyap dan mati

Beberapa orang gelandangan diusir dari kehidupan, mereka bermimpi terbang bersama burung-burung di awan.

Hidup dan mati hanya kata alam, karena itu marilah rebahkan badan... bersembahyang... bersembahyang.... bersembahyang

Allahu Akbar
Allahu Akbar
Asyahdu allaa ilaaha illalah
Wa asyhadu anna Muhammadarrasulullah
Hayya 'alash sholaah
Hayya 'alal falaah
Qodqomatish sholaah
Allahu Akbar
Allahu Akbar
Laa Ilaaha illalah .


VIDEO : https://www.youtube.com/watch?v=JsJWmuYgOKE

Sayap-sayap Kerbau



Oleh: Emha Ainun Nadjib
Di tengah padang yang terbuka luas, dua orang musafir berdebat tentang sebuah titik hitam yang tampak nun jauh di depan. Yang seorang menyatakan, titik itu tak lain seekor kerbau. Sementara lainnya sangat meyakini, itu seekor banteng.
Riuh rendah mereka berdebat dengan argumentasinya. Karena tidak ada titik temu, satu-satunya jalan yang mereka sepakati adalah bersegera mendatangi titik itu ke tempatnya.
Maka, mereka pun berjalan menyusuri padang, sambil terus berdebat, beradu wacana, mempertandingkan acuan, referensi dan pengalaman. Sampai akhirnya mereka hampir tiba di titik yang dituju. Namun, sebelum mereka melihat persis
apa gerangan ia, titik itu tiba-tiba melesat, terbang dari tempatnya, melayang-layang ke angkasa.

"Burung!” kata salah seorang, "Apa saya bilang”, "Tidak bisa!" sahut lainnya. Keduanya berlari mendekat, meskipun si benda terbang itu melesat makin jauh dan tinggi. Akhirnya, mereka berhenti dengan sendirinya dengan napas terengah-engah.
"Kerbau!" kata orang kedua.

"Kerbau bagaimana?" orang pertama membantah, "Sudah jelas benda itu bisa terbang, pasti burung!"
"Kerbau!" orang kedua bersikeras, "Pokoknya kerbau! Meskipun bisa terbang, pokoknya kerbau!"
Saya doakan dengan tulus ikhlas semoga Allah melindungi Anda dari kemungkinan memiliki teman, saudara, istri, rekanan kerja, direktur, bawahan, pemerintah, penguasa, pemimpin atau apapun, yang wataknya seperti si pengucap kerbau itu.

Kalau nyatanya Anda telanjur memiliki sahabat kehidupan yang habitat mentalnya seperti itu, saya hanya bisa menganjurkan agar Anda bersegera menyelenggarakan ruwatan bagi nasib Anda sendiri. Atau, tempuhlah cara yang lebih relegius: puasa empat puluh hari, salat hajat tiap malam, mencari wirid-wirid paling sakti yang memungkinkan Anda terlindung oleh para malaikat Allah dari spesies manusia semacam itu.

Cobalah kata "kerbau" itu Anda ganti dengan kata lain. Umpamanya reformasi. Kata "terbang" bisa Anda ganti dengan kata lain, yang relevan terhadap reformasi. Ucapkan kata-kata semacam tokoh kita itu,
"Meskipun saya mempertahankan agar segala sesuatunya harus tetap mapan, stabil dan buntu, tapi yang penting pokoknya saya ini pendukung reformasi!"

"Meskipun saya bisa sampai ke wilayah yang serba menggiurkan ini, serta duduk di kursi yang penuh wewangian ini berkat proses dan mekanisme nepotisme dan feodalisme, tapi yang penting pokoknya saya antinepotisme.”

"Meskipun terus terjadi ketertutupan, pembungkaman dan pemusnahan, tapi pokoknya ini keterbukaan dan demokrasi."

"Meskipun saya berbuat tidak adil, tapi pokoknya saya anjurkan agar saudara-saudara berbuat adil."

"Meskipun habis-habisan saya melanggar hukum, tapi pokoknya saya ini penegak hukum."

"Meskipun sebagai pihak yang diamanati oleh rakyat dan digaji oleh rakyat, saya tidak pernah minta maaf kepada rakyat atas terjadinya kebangkrutan negara dan krisis total, tapi yang penting pokoknya saya bukan pemerintah yang buruk."

"Meskipun kita kandas di landasan, tapi yang penting pokoknya ini adalah tinggal landas.”

"Meskipun harga bukan hanya naik tapi lompat galah, yang penting pokoknya ini bukan kenaikan melainkan penyesuaian.”

Memang tidak ada makhluk Tuhan yang cakrawala kemungkinannya melebihi manusia. Manusia adalah sepandai-pandainya makhluk, namun ia bisa menjadi sedungu-dungunya hamba Tuhan. Ular saja mengerti persis kapan ia harus makan, seberapa banyak yang sebaiknya ia makan, serta kapan ia mesti berhenti makan. Sementara manusia makan kapan saja, menangguk keuntungan tak terbatas sebanyak-banyaknya seandainya ia tak dibatasi oleh maut. Manusia itu paling lembut, tapi ia juga yang paling kasar. Manusia bisa mencapai kemuliaan kepatuhan kepada Tuhan, namun ia juga mampu melorot ke titik paling nadir untuk bandel, mokong, mbalela dan makar. Untunglah, Allah itu sendiri adalah khoirul makirin: sebaik-baiknya pelaku makar. Manusialah mahluk Allah termulia. Ahsani taqwim. Tapi ia juga yang paling hina dan paling rendah. Asfala safilin.

Doa kita hanya sekalimat, "Ya Allah, makhluk-Mu yang asfala safilin, tolong jangan izinkan punya kekuasaan dan memegang senjata. Amin."

KUMPULAN NASIHAT CAKNUN



Anak-anak muda tak bisa hanya menggantungkan diri akan jadi pegawai negeri, pembengkakan populasi penduduk akan makin berbanding terbalik dengan penyediaan lapangan kerja, jadi yang akan tegak hidupnya adalah orang-orang yang bermental wiraswasta, yang tidak priyayi, yang ulet dan bersedia bekerja keras (Cak Nun)

Anda tak bisa menghakimi ekspresi seseorang hanya dengan melihat bunyi kata-katanya, melainkan Anda harus perhatikan nadanya, nuansanya, letak masalahnya (Cak Nun)

Aneh : hukum negara bertabrakan dengan hak dasar kemanusiaan, dan keduanya telah tiba pada kondisi purik (saling membenci) yang susah disembuhkan. Tetapi, jalan terang tetap terlihat, setidak-tidaknya di cakrawala pandangan setiap orang yang tak mengenal putus asa
Apa gunanya ilmu kalau tidak memperluas jiwa seseorang sehingga ia berlaku seperti samudera yang menampung sampah-sampah? Apa gunanya kepandaian kalau tidak memperbesar kepribadian manusia sehingga ia makin sanggup memahami orang lain? (Cak Nun)

Bukan agama kalau turun ke bumi hanya untuk pandai memerintah dan melarang. Sebelum Adam dilarang makan buah khuldi, dia diberi pelajaran terlebih dahulu mengenai “nama benda-benda”, mengenai segala yang mesti diketahuinya dalam kehidupan (Cak Nun)

Bukanlah hidup kalau sekadar untuk mencari makan, bukankah sambil bekerja seseorang bisa merenungkan suatu hal, bisa berzikir dengan ucapan yang sesuai dengan tahap penghayatan atau kebutuhan hidupnya, bisa mengamati macam-macam manusia, bisa belajar kepada sebegitu banyak peristiwa… Bisa menemukan hikmah-hikmah, pelajaran dan kearifan yang membuat hidupnya semakin maju dan baik (Emha Ainun Nadjib/Cak Nun)

Dalam pengadilan di Indonesia, kadang kita harus memilih alternatif yang terbaik di antara yang terkutuk, dengan menyisakan sedikit harapan bahwa hati nurani manusia tidak semuanya terdiri atas buku (Cak Nun)

Demokrasi itu penuh ironi dan ranjau kalau manusia tak menguasai manajemen untuk menggunakannya, demokrasi hanya bisa menjawab beberapa problem hidup, tapi problem yang lain membutuhkan nilai yang lebih tinggi daripada demokrasi (Cak Nun)

Dunia ini masih dipimpin oleh orang yang lebih memilih kenyang meskipun dijadikan budak daripada lapar tapi bertahan harga dirinya (Cak Nun)

hakikat hidup bukanlah apa yang kita ketahui, bukan buku-buku yang kita baca atau kalimat-kalimat yang kita pidatokan, melainkan apa yang kita kerjakan, apa yang paling mengakar di hati, jiwa dan inti kehidupan kita (Cak Nun)

Hidup ini sangat luas dan dimensi-dimensi persoalannya tak terhingga, untuk itu diperlukan bukan sekadar wawasan yang luas dan pengetahuan yang terus dicari melainkan juga kearifan dan sikap luhur yang konsisten dari hari ke hari (Cak Nun)

Jiwanya seniman itu bagaikan ruang kosong, tak ada lemari atau kotak-kotak yang bisa dipakai untuk menyembunyikan sesuatu, segalanya tampak jelas dan jujur di mata (Cak Nun)

Kalau kita jadi negara industri tidak berarti bahwa segalanya akan beres, tak berarti kita akan terbebas dari kemiskinan, kebodohan atau kekejaman kekuasaan. Industri hanyalah sebuah cara di antara kemungkinan cara-cara lain yang dianggap bisa membantu menyejahterakan masyarakat
Kalau para mahasiswa bercita-cita hendak menjadi pemimpin bangsa, sejak sekarang harus berlatih menampung bermacam-macam gejala manusia, di dalam pergaulan mereka tidak boleh memakai kerangka “menang-kalah” apalagi memakai interes egonya belaka, melainkan mempertimbangkan kepentingan bersama, dan untuk itu diperlukan kesabaran dan kearifan terhadap berbagai kemungkinan yang muncul dari “rakyat” mereka, tidak boleh gemedhĂ© (merasa paling pintar, sombong) (Cak Nun)

Kalau seseorang bersikap kreatif untuk menemukan apa saja hal baik yang bisa dikerjakan dalam hidup ini, jam-jamnya tidak akan sempat ia gunakan untuk sedih atau meratap, sebab sudah habis untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan yang baik (Cak Nun)

kalau seseorang menjadi pemimpin, ia tak sekadar memimpin masyarakat manusia, tapi juga memimpin masyarakat makhluk yang luas, ia memimpin hak-hak binatang, hutan, lautan, barang tambang …. di situlah antara lain terletak kesalahan ideologi pembangunan modern yang merusak alam, bahkan merusak manusia (Cak Nun)

Kata ahli pedang, ilmu pedang tertinggi adalah kalau sudah bisa membelah kapas yang melayang-layang tanpa mengubah arah gerak kapas itu. Aneh, ujian tertinggi bagi keahlian pedang bukanlah baja atau batu karang melainkan kapas. Kekerasan yang telah mencapai puncaknya berubah menjadi kelembutan, kelembutan tak bisa dikalahkan oleh kekerasan (Cak Nun)

Kearifan-kearifan agama harus diterjemahkan ke dalam sistem nilai pengelolaan sejarah, kebudayaan dan peradabannya (Cak Nun)

Kebanyakan orang tak bisa tidur, mereka hanya tertidur, karena sepanjang siang dan malam hari mereka diberati oleh dunia (Cak Nun)

Kebersihan luas makananya, kebersihan ruang dan kampung hanyalah satu hal, hal lain adalah kebersihan jiwa manusia itu sendiri, kebersihan pergaulan antarmanusia, baikpergaulan sosial, pergaulan ekonomi, pergaulan politik dan hukum (Cak Nun)

Keceriaan dan kenyamanan hidup tidak terlalu bergantung pada hal-hal di luar manusia melainkan bergantung pada kekayaan batin di dalam diri manusia (Cak Nun)

Kematian terkadang merupakan kritik terhadap kehidupan, Tuhan mengambil nyawa seseorang tak semata dalam rangka menyayangi orang itu tapi juga sekaligus memberi peringatan kepada semua yang ditinggalkan oleh almarhum (Cak Nun)

Kamu harus membedakan konteks perbedaan pendapat dalam politik dengan pergaulan kemanusiaan. Jangan menganggap pejabat pasti jelek dan rakyat biasa pasti baik, pandangan seperti itu tidak adil, ada urusan dan konteksnya sendiri-sendiri” (Cak Nun)

“Kamu punya ruang dalam hatimu untuk merasakan hati para mbambung (gelandangan), sehingga hatimu sedih, getir, terimpit seribu gunung, sementara orang-orang pandai sibuk dengan program-program dan omong besar di koran-koran. Tuhan tidak bertanya padamu apakah kamu mampu menolong mbambung atau tidak, tapi melihat apakah kamu mencintai orang lemah atau tidak” (Cak Nun)

“Yang lebih kalian cari bukanlah kebaikan melainkan kekayaan, yang lebih kalian buru bukanlah keluhuran melainkan kenyamanan, dan pada posisi seperti itu kalian selalu merasa lebih tinggi derajat dibanding orang kecil. Coba hitunglah kehidupan di sekitarmu, hitung pula dirimu sendiri, temukan kemuliaan di sekitarmu. Belajarlah membedakan mana kemuliaan dan mana kehinaan, amatilah mana orang yang luhur dan mana yang hina, mana yang derajatnya tinggi dan mana yang rendah. Pakailah mata Allah sebagai ukuran” (Cak Nun)

Ada yang bilang negeri ini “negeri selembar kertas”, masyarakat kita “masyarakat selembar ijazah”. silahkan ngomel sistem pendidikan kita tidak bermutu, kesempatan berpendidikan tidak paralel dengan kesempatan memperoleh kerja, atau canangkan proyek deschooling society (masyarakat tanpa sekolah), tapi pokoknya kalau ndak punya ijazah ya nasibnya lebih ndlahom (idiot, goblok, otak tak berisi) dibanding dengan yang punya ijazah (Cak Nun)

Agama diajarkan kepada manusia agar ia memiliki pengetahuan dan kesanggupan untuk menata hidup, menata diri dan alam, menata sejarah, kebudayaan, politik …. Tuhan mengajarkan kreatifitas terlebih dahulu (Cak Nun)

Agama mengajarkan kepada manusia bagaimana menumbuhka iman, menyusun pola-pola pembangunan suatu negeri, mengatur politik dan ekonomi, termasuk juga mengintensifkan bidang-bidang pendidikan pada level mana pun sedemikian rupa sehingga sedikit peluang bagi anggota masyarakat untuk mengalami kekecewaan sosial ekonomi serta kebingungan psikologis (Cak Nun)